Rabu, 26 Juni 2019

Jubir Jelaskan Tiga Kemungkinan Putusan MK


GELORA.CO - Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, menjelaskan kemungkinan putusan yang akan dibacakan oleh majelis hakim konstitusi. Ada tiga kemungkinan putusan yang akan diberikan oleh majelis hakim konstitusi berdasarkan undang-undang (UU), yakni dikabulkan, ditolak, atau tidak dapat diterima.

"Kalau dalam UU MK, putusan MK bisa dikabulkan, ditolak, atau tidak dapat diterima. Itu normatifnya UU MK. Dalam konteks itu (apa putusan besok) nanti saya juga belum tahu putusannya apa," ungkap Fajar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (26/6).

Ia menjelaskan perbedaan ketiga kemungkinan putusan tersebut. Jika dikabulkan maka dalil permohonan pemohon dinilai beralasan menurut hukum. 

Jika ditolak maka dalil permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Jika tidak dapat diterima maka permohonan pemohon dianggap tidak memenuhi syarat-syarat formil.

"Misalnya diajukan di luar tenggat waktu itu (pengajuan permohonan), bisa amar putusan tidak dapat diiterima," kata dia.

Majelis hakim konstitusi telah selesai melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH) terkait perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019. Dengan demikian, MK sudah siap menggelar sidang pengucapan putusan perkara tersebut Kamis (27/6) besok.

"RPH sudah selesai artinya putusan sudah siap dalam arti siap untuk dibacakan. Majelis hakim memastikan, hari Kamis besok putusan siap diucapkan," ujar Fajar.

Hari ini, MK akan melakukan rapat internal yang lebih bersifat persiapan teknis demi kelancaran sidang pembacaan putusan. Berbeda dengan sidang pekan lalu, pembacaan putusan merupakan panggung milik majelis hakim konstitusi.

"Ini kesempatan majelis hakim setelah kemarin pemohon-termohon diberikan kesempatan, diberikan ruang, untuk memberikan keterangan. Nah sekarang giliran mahkamah memutus," tuturnya. [ml]

Felix Siauw Tetap Ceramah, GP Ansor Bergerak ke Balai Kota DKI


GELORA.CO - Sempat disebut dibatalkan, kajian Ustaz Felix Siauw ternyata tetap berlangsung di Masjid Balai Kota DKI. GP Ansor Jaksel saat ini menuju lokasi.

"Saya tidak tahu itu dibatalkan apa karena statement kami, ada gerakan, ada sikap dari Gerakan Pemuda Ansor makanya itu dibatalkan, saya tidak tahu. Itu kan baru di media. Sedangkan informasi yang saya dapat dari orang Balai Kota gitu ya, kajian tetap berjalan tanpa publikasi," kata Ketua PC GP Ansor Jaksel Sulton Mu'minah di gedung GP Ansor, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2019).

"Makanya kita lihat nanti bakda Zuhur, agendanya kan bakda Zuhur. Kita akan tetap datangi ke sana memastikan bahwa kegiatan itu dibatalkan," sambungnya.

Ada sekitar 50 anggota GP Ansor Jaksel yang bergerak ke Balai Kota DKI. Mereka berencana melaksanakan salat Zuhur di sana. 

Sulton menegaskan GP Ansor menolak kehadiran Felix Siauw di sana. Alasannya, Felix Siauw dikaitkan dengan HTI. 

"Kita menolak kehadiran Ustaz Felix Siauw untuk mengisi kajian. Kenapa, karena kita tahu beliau adakah tokoh HTI dan tidak terbantahkan. Tulisan-tulisannya, videonya, dan sebagainya memang mengajak atau mengkampanyekan pro-khilafah," ujar Sulton. 

"Kami menganggap beliau masih berafiliasi dengan Hizbut Tahrir," lanjutnya. 

Pantauan di Masjid Balai Kota DKI pada pukul 12.35 WIB, Felix Siauw sedang memberikan kajian. 

Sebelumnya, poster kajian Felix Siauw ini diunggah di akun resmi Masjid Fatahillah Balai Kota DKI, Selasa (25/6). Kajian itu rencananya diadakan besok, Rabu (26/6), pukul 11.45 WIB. Kabar soal agenda kajian Felix Siauw di Masjid Balai Kota DKI ini lalu ramai dibahas di media sosial. 

Poster kajian Felix Siauw ini juga dipasang di papan informasi Masjid Fatahillah Balai Kota DKI, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Tapi saat dicek pada pukul 15.55 WIB, poster di papan informasi itu sudah dicopot. Poster yang sama sudah dihapus dari Instagram Masjid Balai Kota. [dtk]

Jelang Putusan, Kuasa Hukum Prabowo-Sandi Ultimatum MK


GELORA.CO - Tim hukum calon presiden dan wakil presiden 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, memberikan catatan kritis jelang putusan sidang sengketa pilpres yang akan dibacakan di Mahkamah Konstitusi besok, Kamis 27 Juni 2019.

Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto mengatakan, kuasa hukum paslon 02 dan rakyat Indonesia berharap Mahkamah Konstitusi (MK) mempertegas kemuliaannya melalui putusannya nanti. Yakni sebuah putusan yang berlandasakan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan (the truth and justice) sesuai dengan kesepakatan bangsa dan mandat konstitusi dimana MK terikat pada UUD 1945, sesuai Pasal 22E ayat 1 UUD 1945.

"MK harus menegakkan kebenaran dan keadilan secara utuh. Jika tidak, maka keputusan MK akan kehilangan legitimasi, karena tidak ada public trust di dalamnya. Akibatnya lebih jauh, bukan hanya tidak ada public trust, namun juga tidak akan ada public endorsement pada pemerintahan yang akan berjalan," kata Bambang, Rabu 26 Juni 2019.

Bambang menuturkan, satu saja unsur yang menjadi landasan atau rujukan keputusan MK mengandung unsur kebohongan (terkait intergritas) dan kesalahan (terkait profesionalitas). Misalnya, dengan mempertimbangkan kesaksian ahli Prof Eddy Hiariej yang memberikan labelling buruk sebagai penjahat kemanusiaan kepada Le Duc Tho padahal Le Duc Tho (lahir di Nam Din Province pada 10 Oktober 1911) adalah Nobel Prize for Peace pada tahun 1973 meski ia akhirnya menolaknya, maka keputusan MK menjadi invalid.

Dia lalu menjelaskan kesaksian Prof. Jazwar Koto, PhD (saksi ahli 02) dalam persidangan tentang adanya angka penggelembungan 22 juta yang ia dibeberkan secara saintifik berdasarkan digital forensik sama sekali tidak dideligitimasi oleh termohon (KPU) maupun terkait (Paslon 01).

“Yang dipersoalkan terhadap Prof Jazwar Koto hanyalah soal sertifikat keahlian, padahal ia telah menulis 20 buku, 200 jurnal internasional, pemegang hak patent (patent holder), penemu dan pemberi sertifikat finger print dan eye print, serta menjadi Direktur IT di sebuah perusahaan yang disegani di Jepang," katanya.

Sementara terkait dengan kesaksian ahli Prof Jazwar Koto di persidangan yang tidak dibantah, dapat dibayangkan, jika mekanisme pembuktiannya dilakukan secara manual, mengadu C1 dengan C1, sungguh akan sangat membutuhkan waktu yang lama. Pengecekan C1 dengan C1 membutuhkan waktu sekitar 1 menit untuk satu sekali pengecekan.

“Maka pengecekan tersebut akan memakan waktu sekitar 365 tahun dengan asumsi pemilihnya sekitar 192 juta pemilih. Atau kalau pengecekannya didasarkan per TPS ( dengan asumsi jumlah TPS 813.330 TPS) dan waktu pengecekan setiap TPS memakan waktu 30 menit maka waktu yang dibutuhkan untuk pengecekan secara keseluruhan dapat memakan waktu sekitar 46 tahun lamanya," katanya.

Bambang menuturkan, tidak adanya jaminan keamanan dan kehandalan terhadap system perhitungan suara KPU. Hal ini sangat nampak dari pemaparan yang disampaikan oleh saksi ahli dari termohon (KPU) maupun dari pemaparan komisioner KPU sendiri yang senantiasa 'ngeles'.

Istilah “ngeles melulu” sempat juga diutarakan Majelis Hakim Suhartoyo dalam persidangan) ketika ditanya Hakim MK maupuan oleh pihak Pemohon perihal upaya-upaya perbaikan atau komparasi dalam rangka pembenahan sistem perhitungan suara di KPU. “Padahal UU ITE Pasal 15 ayat 1 ditegaskan bahwa penyelenggara system informasi dan IT wajib memenuhi standar keamanan dan kehandalan," katanya.

Lebih lanjut disampaikan Bambang, dalam persidangan juga terbukti, setelah dilakukan pemeriksaaan, ternyata Termohon tidak dapat membuktikan adanya C7 (daftar kehadiran). Ketidakadaan C7 sangat fatal terkait dengan kepastian atas hak pilih rakyat (daulat rakyat). 

"Dengan tidak dapat dibuktikannya siapa yang hadir memberikan suaranya dalam pemungutan suara di TPS, maka muncul pertanyaan suara itu suara siapa? Siapa yang melakukan pencoblosan? Bahwa terbukti juga sebagai fakta persidangan di mana Termohon/KPU membuat penetapan DPT (daftar Pemilih Tetap) tertanggal 21 Mei 2019, artinya penetapan KPU tersebut dibuat setelah Pemilu tanggal 17 April 2019. Tentu, ini sesuatu yang sangat aneh," ujarnya. [vv]

PKS: Sangat Berbahaya Jika Gerindra Gabung Jokowi


GELORA.CO - Politikus PKS Aboe Bakar Al Habsy tidak yakin Partai Gerindra akan bergabung dalam koalisi Jokowi-Maruf Amin. Bergabungnya Gerindra akan mengurangi kekuatan oposisi, dan itu membahayakan demokrasi.

Meski demikian, PKS tidak akan mencampuri keputusan partai besutan Prabowo Subiabnto tersebut.

"Saya tidak yakin Gerindra akan mengambil sikap yang demikian. Namun jika memang itu terjadi, mau bilang apalagi. Saya tidak bisa mengusik dapur orang, biarlah masing masing menentukan dapurnya," kata Aboe Bakar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/6/2019).

Memang, kata dia, menjadi oposiai itu tidak mudah, bahkan bisa dikatakan sangat susah. Buat PKS posisi dimanapun tidak masalah, asal semua untuk kebaikan bangsa.

"PKS sudah membuktikan bisa dalam koalisi pemerintahaan seperti saat dengan SBY, bisa juga kita di luar seperti sekarang," kata ia.

Tapi, kata dia, sangat berbahanya jika dalam negara demokrasi tak ada partai di luar pemerintahan. Nantinya, tambah dia, semua kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah disetujui oleh DPR.

"Yang celaka, jika tidak ada oposisi, mau jadi apa negara ini. Karena tidak ada penyeimbangnya. Jadi fungsi oposisi itu penting. Posisi ini sangat mulia, karena berfungsi menjaga keseimbangan," kata dia.

"Lebih sederhananya kita lihat orang naik sepeda. Pedal kanan dan kiri harus digenjot bergantian, jika tidak nanti sepeda gak jalan. Lebih parahnya lagi jika sepeda gak jalan, pasti akan rubuh. Kenapa? karena keseimbangan sepeda diperoleh dengan berjalannya roda. Demikian juga demokrasi dan pemerintahan kita. Perlu oposisi untuk memberikan keseimbangan, agar pemerintahan bisa berjalan seimbang," tambahnya.

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan kemungkinan oposisi termasuk Partai Gerindra bergabung dengan koalisi pemerintahan sangat bergantung pada Joko Widodo. Semua keputusan ada di tangan mantan Wali Kota Solo tersebut.

JK menyebut kewenangan untuk mengambil keputusan sepenuhnya ada di tangan Jokowi karena dirinya sudah tidak di pemerintahan lagi untuk lima tahun mendatang.

"Karena pemerintah akan datang saya tidak ikut lagi, saya tidak tahu lagi koalisi-koalisi itu. Itu tergantung ke Pak Jokowi sendiri," ujar JK di kantor wakil presiden, Jakarta, Selasa (25/6). [ts]

Moeldoko Tuding Ada Sponsor untuk Aksi di Sekitar Gedung MK


GELORA.CO - Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, melihat ada yang memberi bantuan logistik untuk massa yang melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Mereka sengaja berkumpul dengan klaim mengawal pembacaan putusan Majelis Hakim sidang sengketa pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), yang akan berlangsung Kamis esok.

"Ya, memang dari sisi logistik kita juga melihat ada partisipasi. Namun, ada kelompok-kelompok yang ingin suasana ini berjalan terus. Tanpa logistik kan nggak bisa," kata Moeldoko di kantornya, Rabu 26 Juni 2019.

Mantan Panglima TNI ini sudah mengetahui kelompok mana yang ikut mendanai aksi massa hari ini, namun ia tidak bersedia menyebutkan siapa mereka secara pasti.

"Ya sudah bisa dikenali itu. Sudah bisa dikenali," katanya.

Moeldoko pun mengingatkan kelompok mana saja yang akan mengganggu stabilitas negara pasti akan berhadapan dengan hukum. Karena Indonesia adalah negara hukum.

"Ya saya pikir semuanya akan berhadapan dengan hukum ya. Ini kan negara demokrasi yang kedepankan hukum sebagai panglima. Siapa pun yang tidak patuh ya pasti akan berhadapan dengan hukum, kan begitu. Apalagi nanti melakukan hal-hal yang bersifat anarkis," katanya.

Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu menjelaskan bila terjadi kondisi yang tidak stabil karena adanya keributan antara massa dengan aparat, yang dirugikan bukan pemerintah, namun seluruh masyarakat Indonesia. Atas dasar itu, pemerintah selalu mengupayakan agar kondisi tetap kondusif dan damai.

"Untuk itu sekali lagi, bukan hanya pemerintah yang ingin suasana ini berjalan damai. Masyarakat Indonesia ingin semua persoalan pemilu ini bisa diselesaikan dengan cara-cara terhormat dan bermartabat. Saya pikir hukum adalah solusi yang terbaik.

Cara-cara jalanan adalah cara-cara yang tidak diinginkan oleh masyarakat umum karena mengganggu ketertiban umum, mengganggu kepentingan masyarakat dan mengganggu berbagai aktivitas. Pada akhirnya secara akumulatif menjadi tidak produktif bangsa ini," katanya. [vv]

Massa Berselawat Memohon Habib Rizieq Pulang


GELORA.CO - Massa pengunjuk rasa yang menggelar aksi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, tak jauh dari gedung Mahkamah Konstitusi, melantunkan selawat untuk memohon agar Habib Rizieq Shihab pulang ke Indonesia.

Selawat oleh peserta aksi selepas salat Zuhur ini dipimpin Fikri Bareno, ulama yang kerap menjadi korlap dalam aksi-aksi Bela Islam.

"Kita ingin Habib Rizieq kembali memimpin perjuangan kita. Kangen tidak sama beliau? Kita siap putihkan Jakarta saat beliau pulang. Insya Allah beliau akan dipulangkan ke Indonesia dalam keadaan menang. Aamiin ya rabbal alamiin," ujar Fikri dari atas mobil komando di depan Gedung Sapta Pesona, Rabu 26 Juni 2019.

Fikri menyampaikan, selawat merupakan upaya mengetuk pintu pertolongan Allah SWT. Tidak akan ada yang bisa menghalangi, jika Allah SWT berkehendak Habib Rizieq kembali.

Massa lantas kompak menyenandungkan pujian-pujian kepada Rasulullah SAW. Setelahnya, mereka juga menyanyikan lagu 'Bela Islam'. Aksi telah berlangsung sejak 11.00 WIB, dan direncanakan berakhir maksimal 17.00 WIB.

Tujuan aksi adalah mengawal MK yang akan membacakan putusan sengketa Pilpres 2019 pada Kamis esok, 27 Juni 2019. Massa juga menuntut keadilan ditegakkan. [vv]

Selasa, 25 Juni 2019

Abdullah Hehamahua: Kita Minta IT KPU Diinvestigasi Mahkamah Internasional


GELORA.CO - Ribuan masyarakat turun ke jalan untuk mengikuti Aksi 266 di area Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (26/6/2019). Di awal aksi, massa menyanyikan Lagu Kebangsaan, dan lagu nasional seperti Maju Tak Gentar, dan Halo-Halo Bandung.

Sebelumnya, mobil komando sempat dihalau dari lokasi aksi oleh sejumlah aparat kepolisian, namun setelah melalui negoisasi yang alot antara koordinator lapangan dengan polisi, akhirnya mobil komando diperbolehkan masuk ke lokasi.

Tampak sejumlah ulama dan tokoh nasional seperti, mantan Komisioner KPK, Abdullah Hehamahua, Koordinator API Jabar, Ustadz Asep Syaripudin dan Edi Mulyadi

Dalam orasinya, Ustadz Asep menegaskan bahwa Aksi 266 yang bertajuk Halal bihalal dan Tahlil Akbar ini adalah aksi damai.

Sementara, Abdullah Hehamahua menekankan pentingnya para Hakim MK untuk menjunjung tinggi keadilan.

Abdullah sempat menyinggung tentang Jokowi yang tidak cuti selama masa kampanye Pilpres 2019, namun di akhir persidangan MK, tim hukum Jokowi baru memperlihatkan surat izin cuti.

“Ini kecurangan dan hukumannya 5 tahun!”, ujar Abdullah Hehamahua.

Dia juga menyinggung tentang sudah dicoblos nya surat suara Pemilu di Malaysia, dan lain-lain. “Jadi kasus ini harus diproses hukum, kalau pun tidak bisa diproses sekarng, maka harus diproses di periode kepemimpinan berikutnya,” ujarnya.

Tak hanya itu, Hehamahua juga mengungkap indikasi kecurangan yang luar biasa, dimana DPT saat Pilpres 2019 melonjak secara drastis daripada DPT saat Pilkada Jateng dan Jatim.

Dia mengungkap bahwa di masa lalu, Antasari Azhar mau mengaudit IT KPU, lalu setelah itu Antasari dikriminalisasi. Untuk itu, IT KPU sangat perlu untuk diinvestigasi karena bermasalah.

“Kita minta Mahkamah Internasional, kita minta PBB, apapun putusan MK besok, untuk melakukan audit IT KPU,” tegas Abdullah Hehamahua yang langsung disambut pekikan takbir ribuan massa yang hadir.

Aksi yang dihadiri oleh ribuan umat Islam dan sejumlah ormas yang tergabung dalam Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat untuk Keadilan dan Kemanusiaan itu, rencananya akan digelar hingga 17.00 WIB. [sm]

Andi Arief Wanti-wanti Ridwan Kamil Soal Jejaring Peternak China Di Kawasan Gunung Padang

GELORA.CO - Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil diingatkan soal keberadaan usaha peternakan ayam petelur oleh jejaring peternak China di kawa...